Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Keberhasilan pembangunan seringkali ditentukan melalui indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara namun perlu diketahui bahwa distribusi pendapatan masyarakat juga menjadi salah satu indikator penting dalam keberhasilan suatu pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan faktor-faktor produksi berupa investasi dan ketersediaan Sumber Daya Manusia berkualitas di mana hal ini akan berpengaruh pada pertumbuhan sektor industri. Ketersediaan infrastruktur untuk mendukung sektor industri tentu dibutuhkan untuk memperlancar proses logistik produk. Makin berkembangnya sektor ini tentu akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat distribusi pendapatan di Indonesia.

Insentif Pajak merupakan salah satu instrumen yang sering digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik investasi ke negaranya termasuk Indonesia. Indonesia saat ini secara garis besar memiliki dua jenis insentif yang ditawarkan kepada investor yaitu Tax Holiday yang diatur dalam PMK No. 35 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan dan Tax Allowance yang diatur dalam PP No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Tax Holiday yang ditawarkan berupa pengurangan PPh badan hingga 100% untuk waktu tertentu bagi investor yang menanamkan modalnya dalam jumlah tertentu pada industri pionir sedangkan Tax Allowance berupa pemberian fasilitas PPh bagi investor yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu. Kedua insentif pajak ini diharapakan menjadi salah satu faktor yang mampu mendorong investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang merupakan salah satu emerging country.

Walaupun Insentif Pajak bukan merupakan faktor utama yang memengaruhi investasi ke suatu negara namun setidaknya mampu untuk meningkatkan "portofolio” Indonesia dalam sektor pajak di mata investor. PBB dalam handbook tentang Protecting the Tax base of Developing Countries Second Edition menjelaskan bahwa Pemerintah perlu tetap waspada terhadap potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar dari insentif pajak.  Pemerintah harus memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian dari adanya insentif pajak karena seringkali pemberian insentif tersebut ineffective, inefficient, dan rentan terhadap penyalahgunaan serta korupsi. Efektivitas insentif pajak secara langsung berkaitan dengan iklim investasi di suatu negara sehingga ketika tedapat dua negara yang memiliki insentif pajak yang hampir sama maka secara substansial hal yang akan menarik Foreign Direct Investment (FDI) adalah siapa yang memiliki iklim investasi lebih baik. Iklim investasi tersebut mencakup kondisi perekonomian negara (kondisi ataupun stabilitas ekonomi makro), infrastruktur yang memadai, kemudahan dalam perizinan usaha, kepastian hukum, dan lain sebagainya.

Menurut PBB dalam handbook-nya, insentif pajak adalah tentang kompetisi pajak, tentang bagaimana sebuah negara dapat menarik investasi sehingga tidak pergi ke negara lain. Kompetisi dalam menarik investasi asing akan berbeda tergantung pada alasan dari investasi itu sendiri. Sehingga efektivitas dari insentif pajak sangat tergantung pada jenis investasi yang dilakukan, apakah investasi tersebut bermaksud dalam eksploitasi Sumber Daya Alam (resource-seeking), untuk memfasilitasi penjualan atau produksi atas suatu produk di pasar tertentu (market-seeking) maupun alasan lainya. Alasan-alasan investor dalam berinvestasi inilah yang nantinya akan menentukan menarik atau tidaknya insentif pajak di suatu negara. Perbedaan bentuk investasi juga memiliki peran karena tiap bentuk investasi akan memiliki respon berbeda dalam perpajakanya.

Dalam pelaksanaan aturan insentif pajak, diperlukan pula pertimbangan mengenai biaya atas insentif pajak. OECD dalam laporannya di tahun 2015 menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi biaya sosial atas insentif pajak diantaranya adalah hilangnya penerimaan pajak, biaya atas administrasi dan kepatuhan serta kurang efisiennya alokasi sumber daya. Tiap negara termasuk Indonesia tentu memiliki tujuan untuk memiliki kebijakan insentif pajak yang dapat memberikan manfaat terbesar dengan biaya terendah. Kerugian berupa hilangnya penerimaan pajak akibat konsekuensi dari insentif pajak dapat dihitung melalui analisa Tax Expenditure, oleh karena itu diperlukan perhatian lebih dari Pemerintah dalam penerapan laporan atas Tax Expenditure sehingga dapat mengukur efektivitas insentif pajak yang diberikan maupun melakukan evaluasi atas kebijakan yang dilakukan. Menyusun laporan atas Tax Expenditure dalam APBN merupakan salah satu langkah penting yang perlu diambil pemerintah dalam kaitannya dengan keberhasilan insentif pajak di Indonesia.

World Bank sendiri telah mengembangkan suatu template dalam mengevaluasi keberhasilan insentif pajak terhadap investasi, berfokus pada empat dimensi yaitu rule of law, transparansi, administrasi yang efisien dan review atas insentif. Transparansi Pemerintah dalam setiap kebijakan serta pengawasan dan evaluasi dapat memberikan keyakinan bagi investor bahwa pemerintah memiliki akuntabilitas dalam penyelenggaraan kebijakannya. Pemerintah secara periodik perlu mengevaluasi efektivitas insentif pajak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan secara berkelanjutan memperbaiki substansi dari peraturan insentif pajak apabila kebijakan yang diambil gagal dalam mendapatkan hasil yang diinginkan.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja. 

[1] IMF, OECD, UN dan World Bank. 2015. Options for Low Income Countries' Effective and Efficient Use of Tax Incentives for Investment.

[2] Trepelkov, Alexander, Harry Tonino dan Dominika Halka. Penyunting. 2017. United Nations Handbook on Selected Issues in Protecting the Tax Base of Developing Countries Second Edition.