Oleh: Edi Purwanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemilu legislatif tahun 2019 dan pilkada serentak tahun 2020, melahirkan banyak pejabat baru yang semula tidak wajib lapor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi wajib lapor LHKPN. Apakah jumlah harta dalam LHKPN dan SPT Tahunan mereka sudah sama? Jika terdapat harta di LHKPN yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan, maka momentum pejabat dimaksud untuk ikut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengenakan Pajak Penghasilan atasnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, diatur bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Oleh karena itu, pejabat publik yang baru terpilih tahun 2019 dan 2020, wajib lapor LHKPN. Demikian juga bagi pejabat lama, wajib menyampaikan LHKPN rutin setiap tahunnya.

 

Momentum Ekualisasi LHKPN dan SPT Tahunan

Januari sampai Maret 2022 merupakan periode pelaporan LHKPN Rutin dan SPT Tahunan Tahun Pajak 2021. Inilah momentum untuk melakukan ekualisasi, baik bagi wajib pajak maupun DJP.

Idealnya jumlah harta dalam LHKPN sama dengan SPT Tahunannya. Hal ini mengingat, sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), diatur bahwa pengisian SPT Tahunan didasarkan data yang benar dan sesuai keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, LHKPN pejabat baru yang baru dilaporkan untuk tahun 2019 atau 2020 mencerminkan jumlah harta dalam SPT Tahunan sampai 2020.

Permasalahan akan muncul, apabila terdapat harta dalam LHKPN yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan Tahun Pajak 2020. Sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU HPP, harta dimaksud merupakan tambahan penghasilan Tahun Pajak 2020 dan merupakan obyek Pajak Penghasilan (Pasal 4 (1) huruf p UU PPh).

Guna mengatasi ketidaksamaan jumlah harta dalam LHKPN dan SPT Tahunan, ada tiga pilihan, yaitu didiamkan saja seraya berharap Pemeriksa Pajak tidak memeriksa, melakukan pembetulan SPT Tahunan atau ikut Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Alternatif pertama, yakni didiamkan saja seraya berharap Pemeriksa Pajak tidak datang. Alternatif ini sangat berisiko karena apabila Ditjen Pajak mengetahuinya, maka Wajib Pajak dapat dianggap dengan sengaja menyampaikan SPT Tahunan yang isinya tidak benar dan jika terdapat unsur kerugian pada pendapatan negara, maka dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan (Pasal 39 ayat (1) UU KUP).

Alternatif kedua adalah melakukan pembetulan SPT Tahunan Tahun Pajak 2020. Alternatif ini secara jangka pendek menguntungkan karena tidak dibebani PPh Final. Namun, mengingat tidak ada perlindungan data, maka secara jangka panjang, kepada Wajib Pajak sangat terbuka untuk dilakukan pemeriksaan, sehingga terbit Surat Ketetapan Pajak (SKP) beserta sanksinya, bahkan data dimaksud dapat dijadikan data penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak apabila terdapat unsur kerugian pada pendapatan negara.

Alternatif ketiga, mengikuti PPS. Minimal ada empat keuntungan yang diperoleh oleh pejabat dimaksud. Pertama, tarif pajak yang lebih kecil. PPS menawarkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif jika harta tidak diungkapkan. Kedua, proses PPS sederhana, baik dalam perhitungan maupun pelaporan. Ketiga, Kepastian hukum berupa tidak diterbitkan SKP dan tidak dikenakan sanksi administrasi. Peserta PPS untuk harta yang diperoleh sebelum tahun 2016 dibebaskan dari pengenaan sanksi adminstrasi berupa kenaikan sebesar 200% sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak. Adapun peserta PPS untuk harta yang diperoleh selama tahun 2016 sampai 2020, tidak dikenai sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Keempat, Perlindungan data. Data yang ada dalam SPPH, tidak dapat dijadikan data penyelidikan, penyidikan dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah, bagi pejabat publik, seyogianya jumlah harta dalam LHKPN sama dengan jumlah harta di SPT Tahunannya. Sekiranya tidak sama, maka saat ini merupakan momentum untuk melakukan ekualisasi harta, baik oleh pejabat sendiri maupun DJP.

DJP dapat melakukan ekualisasi dengan melihat jumlah harta pejabat pada LHKPN KPK yang dapat diakses oleh masyarakat, termasuk pemeriksa pajak. Apabila terdapat harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan, sesuai UU PPh dan HPP, harta dimaksud dianggap penghasilan.

Bagi pejabat, tahun ini menjadi momentum untuk menyamakan harta dalam LHKPN dan SPT Tahunannya. Apabila masih terdapat harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Tahun Pajak 2020, pejabat dimaksud dapat mengikuti PPS karena selain prosesnya sederhana juga pejabat mendapat manfaat dalam bentuk perlindungan data, tarifnya lebih rendah, dan adanya kepastian hukum.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.