Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pemerintah Indonesia selalu memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Dari total belanja negara sebesar 2.461,1 triliun rupiah pada APBN 2019, pemerintah mengalokasikan 492,5 triliun rupiah untuk anggaran pendidikan. Dari anggaran pendidikan tersebut, terdapat beberapa sasaran target yang ingin dicapai. Beberapa program tersebut adalah adalah Program Indonesia Pintar (20,1 juta jiwa), pembangunan/rehab sekolah/ruang kelas (56,1 ribu unit), Bantuan Operasional Sekolah (57 juta jiwa), dan Beasiswa Bidik Misi (471,8 ribu mahasiswa).

Salah satu program pemerintah di atas yang menunjukkan keberpihakan bagi masyarakat tidak mampu adalah Beasiswa Bidik Misi. Beasiswa ini adalah bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi pada program studi unggulan sampai lulus tepat waktu. Dengan adanya beasiswa ini, diharapkan menjadi jalan peningkatan taraf ekonomi bagi masyarakat tidak mampu.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 25,26 juta orang pada bulan September 2018. Untuk menanggulangi kemiskinan, diperlukan upaya dan langkah bersama. Dua puluh persen anggaran pendidikan dari belanja negara di tahun 2019 adalah salah satu contohnya. Dengan pembayaran pajak dari masyarakat, dipergunakan untuk salah satunya pemberian akses pendidikan bagi mereka yang masih kekurangan.

Yang tidak kalah pentingnya, peningkatan kualitas SDM masyarakat miskin hakikatnya adalah investasi bangsa. Sudah banyak diketahui, banyak negara maju yang memulai pembangunan bangsanya berawal dari pembangunan SDM berkualitas global. Mereka membuktikan, walaupun dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang minim, namun keunggulan dalam kualitas SDM menjadi jalan untuk menggapai kemakmuran dan kesejahteraan.

Merubah Paradigma

Dalam ilmu ekonomi, terdapat teori yang dinamakan Human Capital Theory. Teori ini menempatkan jumlah manusia sebagai modal yang harus diberikan perhatian agar suatu organisasi pada khususnya dan suatu negara pada umumnya, dapat mencapai produktivitas yang maksimal.

Gary S. Becker, seorang ahli ekonomi menyatakan bahwa selain sebagai sumber daya, manusia juga merupakan modal (capital). Modal itu dapat menghasilkan pengembalian (return). Untuk itu, mengelola  manusia sesungguhnya bukanlah beban, namun akan dapat menjadi alat investasi. Caranya dengan mengembangkan bukan hanya kuantitas modal tersebut, tetapi juga mengembangkan kualitasnya.

Mengacu pada teori tersebut, paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat miskin adalah beban, sesungguhnya harus diubah. Menjadi kewajiban negara untuk meningkatkan harkat hidup mereka, khususnya melalui pendidikan. Karena kemakmuran harus dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, bukan hanya sebagian masyarakat saja. Salah satu cara terbaik melalui pendidikan.

Beasiswa Bidik Misi adalah contohnya. Program ini akan menjadi investasi yang diharapkan akan berbuah kelak. Namun untuk mencapai hasil yang maksimal, diperlukan sumber penerimaan negara dalam pengelolaannya, salah satunya berasal dari pajak.

Seperti telah diketahui bersama, pajak menjadi primadona dalam penerimaan negara. Pada tahun 2019, target penerimaan perpajakan mencapai 1.786,4 triliun rupiah. Penerimaan perpajakan dimaksud terdiri dari penerimaan kepabeanan dan cukai (208,8 triliun rupiah) dan penerimaan pajak (1.577,6 triliun rupiah). Bila penerimaan khususnya penerimaan pajak tercapai, dapat dibayangkan berapa besar manfaat yang akan diterima masyarakat miskin.

Hal lain adalah pemberlakuan beasiswa dalam pengecualian objek pajak penghasilan (PPh). Berdasarkan Pasal 4 ayat 3(l) Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008, beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu dikecualikan dari objek pajak. Ketentuan mengenai persyaratannya diatur lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek PPh.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan.atau du luar negeri dikecualikan dari objek PPh. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, atau pengurus.

Lebih lanjut disebutkan bahwa komponen beasiswa yang bukan objek PPh terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. Kebijakan tersebut selain dilakukan atas dasar keadilan juga untuk menjadi dorongan kepada penerima beasiswa untuk untuk secara maksimal meningkatkan kualitasnya.  

Pajak, Alat Pemerataan Pendapatan

Pajak mempunyai berbagai fungsi bagi negara. Salah satu fungsi yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan adalah fungsi distribusi. Kemakmuran harus dirasakan secara menyeluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya, kepada mereka yang dianggap mampu dan memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berdasarkan peraturan perpajakan, mempunyai kewajiban membayar pajak. Hasil pembayaran pajak inilah yang akan dipergunakan salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka yang tak mampu.

Memberikan kail, bukan ikannya. Beasiswa adalah kail bagi mereka yang tidak mampu untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Kelak, diharapkan penerima beasiswa khususnya beasiswa Bidik Misi akan meningkat kesejahterannya, dan pada akhirnya menjadi pembayar pajak yang baik. Dengan demikian, akan lebih banyak lagi masyarakat yang menerima manfaat dari pajak.

Penerima beasiswa Bidik Misi mempunyai tanggung jawab besar, karena dana yang mereka terima terdapat peranan dari pembayar pajak. Untuk itu, mereka juga setidaknya memberikan informasi positif kepada masyarakat tentang pajak. Dengan semakin banyak masyarakat yang paham tentang manfaat pajak, diharapkan kepatuhan sukarela akan semakin mudah tercapai. Semoga! (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.