Catatan Redaksi: Rubrik Feature atau Karangan Khas merupakan jenis konten yang disediakan untuk liputan berita atau peristiwa ihwal tugas dan fungsi layanan administrasi perpajakan, dengan menitikberatkan tema human interest, yang dikemas dengan gaya bahasa yang lebih ringan, renyah, dan luwes, yang berbeda dari gaya bahasa berita lempang (straight news). Feature dapat berupa kisah yang inspiratif, menyentuh hati, lucu, dan menggelitik.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap para pegawai Direktorat Jenderal Pajak peserta lomba esai integritas dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 di lingkungan Kementerian Keuangan, kami telah menyeleksi sejumlah esai yang layak dimuat di situs pajak.go.id. Secara berkala, kami akan menayangkan tulisan terpilih dimaksud, di rubrik Feature. Kami mengedit seperlunya tanpa mengubah substansi naskah asli. Dengan berbagai pertimbangan, nama penulis, tokoh, dan tempat kejadian tidak kami cantumkan. Semoga bermanfaat.

---

Pagi ini tampak cerah. Langit biru dan awan putih semakin terlihat jelas, tak kulihat lagi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut minggu lalu. Syukurlah, pagi ini tak perlu lagi kupakai maskerku saat akan berangkat ke kantor. Kuhidupkan mesin motorku dan mulai melaju melewati jalanan sepi bak jalan tol di tengah pepohonan dan rawa.

Sebelum ke KP2KP (Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan) tempatku bekerja, seperti biasa aku akan membeli nasi kuning terlebih dahulu di dekat sungai penyeberangan. Di tengah sungai berwarna kecokelatan, kulihat sebuah kelotok (perahu sungai sederhana) dengan suara mesinnya yang khas sudah melaju untuk menyeberangkan para penumpangnya. Tak lama, nasi kuning pesananku sudah siap, saatnya aku berangkat ke kantorku yang berada tak jauh dari tempat aku membeli sarapanku pagi itu.

Setibanya di ruangan bendahara, kulihat masih ada dua tunggakan pekerjaan yang tertulis di sticky note berwarna kuning yang harus kuselesaikan hari ini. Pertama, aku harus mengambil spanduk untuk acara Sosialisasi Pelaporan SPT Tahunan yang sudah kupesan sejak tiga hari yang lalu via WhatsApp. Aku pun mengajak Pak R, sopir di kantor kami untuk mengantarku ke toko percetakan.

“Permisi mbak, saya dari KP2KP mau ambil spanduk. Tolong disiapkan notanya sekalian ya mbak untuk saya bayar,” begitu ucapku kepada pegawai toko percetakan setibanya di sana. Pegawai wanita di toko itu pun mempersilakanku duduk dan meminta rekannya untuk menyiapkan pesananku.

“Mbaknya teh bendahara KP2KP yang baru ya?” tanya pegawai perantau sama sepertiku yang berlogat khas sunda itu.

“Iya mbak, saya menggantikan bendahara sebelumnya yang kebetulan sedang tugas belajar,” jawabku.

“Oalah, iya mbak. KP2KP itu kan udah biasa bikin spanduk disini. Misal buru-buru, spanduknya teh boleh diambil duluan, nanti bayarnya belakangan.”

“Iya mbak, ini saya bayar sekarang saja, karena sudah saya siapkan uangnya. Ini sudah saya potong PPh-nya ya mbak,” jawabku sambil menyodorkan uang jasa cetak spanduk.

Pegawai itu pun menerima uangku sambil berkata, “Siap mbak, ini notanya dikosongin saja atau mau diisi sekalian sama tanggalnya?”

Mendengar pertanyaannya, aku agak kebingungan dan bertanya-tanya, kalau bisa mereka yang mengisi notanya, kenapa harus memberikan nota kosong? pikirku.

“Ditulis saja mbak, sesuai tanggal hari ini. Nominalnya ditulis sejumlah yang belum dipotong pajak ya mbak. Karena nanti pajaknya kami yang setorkan,” jelas ku. 

“Ooo... siiap mbak. Soalnya biasanya ada dinas yang minta dikosongin notanya,” begitu jawabnya.

“Oo... gaperlu mbak, notanya diisi saja,” jawabku sambil tersenyum.

Sesampainya di kantor, aku mulai berpikir bahwa apakah masih banyak rekanan dan instansi pemerintah yang mewajarkan nota kosong ini yang sebenarnya bisa menjadi celah untuk melakukan praktik korupsi mulai dari hal kecil.

Namun tak kupikir panjang, karena tuasku yang kedua telah menanti. Hari ini aku harus menghubungi Pak X. Rekanan pembuat kanopi parkiran kantor yangg sangat susah untuk kutemui, karena beliau sangat sibuk mengerjakan pesanan lasnya di luar kota. Beberapa kali kuhubungi tetapi nomornya sempat tidak aktif, padahal aku ingin segera membayarkan jasa kanopi yang sudah diselesaikan oleh anak buahnya sejak dua minggu lalu.

“Halo Pak X. Dari kemarin, nomor bapak gak aktif ya Pak? Susah sekali saya hubungi.”

Iya bu, saya masih di luar kota, kemarin sedang susah sinyal,” jawabnya dengan logat khas daerahnya.

“Oo... begitu pak. Ini pak, mau tanya.. kira-kira kapan Bapak bisa ke kantor? Saya mau bayar tagihan kanopi kemarin pak.”

Iya bu, kalau tidak kemalaman, nanti saya akan kesitu bu Apa ja’ yang dibawa?” “Cap stempel milik CV saja ya pak.”

Satu minggu kemudian, beliau datang ke kantor untuk menerima pembayaran atas jasanya.

“Terima kasih ya pak, Kepala Kantor kami puas dengan kanopi buatan bapak. Ini pak, biayanya, sudah saya potong PPN dan PPh 23-nya. Silakan dihitung dulu pak.”

Beliau pun mengangguk dan menerima uang yang kuberikan, sambil lanjut menghitungnya. Setelah selesai menghitung.

“Ini bu,” ucap beliau singkat sambil menyodorkan sejumlah uang kepadaku.

Aku yang sudah mengerti apa maksud beliau, sontak menolak pemberiannya. Namun Beliau tetap kekeuh ingin memberikan uang yang katanya “uang terimakasih” itu.

Tidak enak bu kalau saya tidak memberi ini, ambil saja bu, tidak apa-apa,” jawabanya.

“Tidak usah pak, terimakasih. Itu biayanya dari anggaran kantor memang sudah disesuaikan dengan biaya jasa yang disepakati di awal kok pak.”

Makasih bu

Syukurlah, Pak X mau mengerti. Karena ada beberapa rekanan yang pernah kutemui, lebih kekeuh dari Pak X, sehingga kami terlihat seperti saling menyodorkan uang yang diberikan karena rekanan itu memaksaku untuk menerimanya. Meski agak alot, tetapi akhirnya rekanan tersebut mengerti. Sebagai anak yang lahir dengan budaya jawa, sebelumnya kupikir, “gak enakan” itu hanya ada di budaya kami, tetapi disini pun juga masih kutemui.

Aku bersyukur bisa merasakan pengalaman mengemban jabatan ini selama kurang lebih tiga tahun, karena aku merasa memiliki kesempatan dan peluang untuk mengedukasi dan menunjukkan kepada mereka (rekanan) bahwa praktik korupsi dan gratifikasi ini tidak boleh diwajarkan di instansi manapun. Bahkan selama aku menjabat sebagai bendahara di KP2KP kecil ini, aku juga berkesempatan menerima penghargaan sebagai pegawai KP2KP terbaik yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak di Provinsi ini pada tahun 2021 dan 2022. Meski sebenarnya bukan itu tujuan utamaku, tetapi kini aku semakin percaya, bahwa jika kita konsisten menjaga integritas dan berani memerangi budaya korupsi di tengah sikap masyarakat yang permisif akan hal ini, maka bukan hal yang tidak mungkin, jika kita dapat mengubahnya menjadi budaya antikorupsi melalui hal-hal yang kita anggap kecil. Dan percayalah, kita pun akan menuai hasil dari apa yang kita tanam.

---

“Saya menyatakan esai ini merupakan hasil pengalaman atau pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri, dengan kontribusi, referensi, atau ide dari sumber lain dinyatakan secara implisit maupun eksplisit pada tubuh dan/atau lampiran esai. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia didiskualifikasi dari perlombaan ini”.

 

Pewarta:-
Kontributor Foto:-
Editor: Arif Miftahur Rozaq

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.