Oleh: Hudyoro Indreswara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Lebaran dan parsel memiliki hubungan yang erat dalam konteks budaya dan tradisi di masyarakat Indonesia. Lebaran, sebagai hari raya besar umat Islam yang dirayakan setelah bulan Ramadan, sering kali menjadi momen di mana orang-orang saling memberikan parsel atau hadiah kepada keluarga, kerabat, teman, dan tetangga sebagai bentuk ucapan selamat Idulfitri.

Parsel Lebaran adalah paket atau bingkisan yang berisi berbagai jenis makanan, kue-kue kering, minuman, dan kadang-kadang juga barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Isi parsel Lebaran sering kali bervariasi tergantung pada preferensi dan kemampuan finansial masing-masing individu atau keluarga yang memberikannya. Parsel Lebaran dapat berupa makanan khas seperti ketupat, opor ayam, rendang, kue kering, serta minuman seperti sirup atau minuman ringan.

Tradisi memberikan parsel Lebaran ini memiliki makna yang mendalam dalam budaya Indonesia. Selain sebagai ungkapan kebahagiaan dan kebersamaan dalam merayakan Lebaran, memberikan parsel Lebaran juga dianggap sebagai bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama. Hal ini juga mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas sosial yang tinggi dalam masyarakat Indonesia.

Bagi banyak orang, memberikan parsel Lebaran juga merupakan cara untuk memperkuat hubungan sosial dan memperluas jaringan sosial. Melalui parsel Lebaran, orang dapat menjalin dan mempererat hubungan dengan keluarga, teman, tetangga, dan kolega kerja. Parsel Lebaran juga menjadi sarana untuk memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan kepada yang lebih tua atau yang memiliki posisi sosial yang lebih tinggi.

Selain itu, memberikan parsel Lebaran juga dianggap sebagai salah satu cara untuk berbagi keberuntungan dan rejeki yang diperoleh selama bulan Ramadan dengan orang-orang yang membutuhkan. Ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya berbagi rezeki kepada sesama, terutama kepada yang kurang mampu atau yang membutuhkan.

Suasana Lebaran juga tercermin di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang dipenuhi dengan keceriaan dan semangat menyambut  Lebaran Tahun 2024. Momen ini menjadi waktu yang dinanti-nanti, di mana harapan dan rencana baru berkembang di dalam hati setiap orang. Namun, di tengah perayaan dan kegembiraan, terdapat sebuah aturan yang tegas dan perlu dipegang teguh oleh pegawai pajak yaitu larangan menerima gratifikasi. Mengapa pada momen Lebaran, di mana kegembiraan meluap-luap, pegawai pajak tetap dilarang menerima hadiah atau imbalan? Mari kita gali lebih dalam untuk memahami konteks dan alasan di balik aturan ini.

Baca juga:
[PENGUMUMAN] Imbauan Antigratifikasi Dalam Rangka Idulfitri 1445 H
DJP = Antikorupsi

Hormati Tradisi Tanpa Nodai Integritas

Lebaran adalah momen di mana orang-orang saling memberikan harapan dan kebahagiaan. Tradisi memberikan hadiah atau ucapan selamat menjadi sesuatu yang umum, sebagai tanda penghargaan dan dukungan satu sama lain. Pegawai pajak, yang memiliki peran penting dalam menegakkan kewajiban perpajakan, turut merayakan momen ini bersama dengan masyarakat. Namun, di balik senyum dan sapaan hangat, terdapat aturan yang menjelaskan bahwa pegawai pajak tidak diperbolehkan menerima gratifikasi.

Larangan ini bukanlah upaya untuk meredam semangat perayaan atau mengecilkan makna tradisi yang sudah terakar kuat di masyarakat. Sebaliknya, aturan ini diimplementasikan untuk memastikan bahwa kegembiraan Lebaran dapat dirayakan dengan penuh kehangatan, sambil tetap menjaga integritas dan keadilan dalam pelaksanaan tugas-tugas perpajakan.

Pegawai pajak memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan tugas mereka. Di dalam dinamika administrasi perpajakan, integritas dan profesionalisme adalah dua pilar utama yang harus dijunjung tinggi. Profesionalisme mengharuskan setiap pegawai pajak untuk bertindak sesuai dengan standar etika dan hukum yang berlaku, terlepas dari situasi atau momen tertentu. Menerima gratifikasi pada momen Lebaran dapat membawa risiko konflik kepentingan dan merusak profesionalisme seorang pegawai pajak. Hadiah atau imbalan yang diterima dapat menciptakan ketergantungan yang tidak sehat atau memberikan pemahaman bahwa pegawai pajak terikat pada pihak yang memberikan gratifikasi. Oleh karena itu, larangan menerima hadiah di masa perayaan seperti Lebaran bukanlah bentuk ketidakmenghormatan terhadap tradisi, melainkan langkah proaktif untuk menjaga standar tinggi profesionalisme dalam pelayanan pajak.

Pencegahan Konflik Kepentingan

Pada dasarnya, larangan menerima gratifikasi pada momen Lebaran adalah langkah pencegahan terhadap pengaruh eksternal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan tugas perpajakan. Pegawai pajak harus dapat menjalankan tugasnya secara independen, tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari pihak eksternal, seperti hadiah atau imbalan.

Penerimaan hadiah atau imbalan di momen Lebaran dapat menciptakan hubungan yang tidak seimbang antara pegawai pajak dan wajib pajak. Ada risiko bahwa keputusan pegawai pajak dapat dipengaruhi oleh relasi personal atau perasaan terima kasih terhadap hadiah yang diterima. Aturan larangan menerima gratifikasi pada momen spesial ini adalah langkah yang bijaksana untuk mencegah kemungkinan konflik kepentingan yang dapat merusak objektivitas dan independensi dalam pelayanan perpajakan.

Penerapan aturan larangan menerima gratifikasi pada momen Lebaran juga membawa dampak positif terhadap keadilan dalam penegakan hukum perpajakan. Keberlanjutan sistem perpajakan yang adil dan transparan adalah kunci untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perpajakan. Setiap wajib pajak berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tanpa dipengaruhi oleh hubungan personal atau pemberian hadiah. Menerima gratifikasi dapat membuka pintu bagi perlakuan khusus atau pembebasan pajak yang tidak adil. Aturan larangan ini menegaskan komitmen Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa setiap wajib pajak diperlakukan dengan adil dan setara di mata hukum. Dengan demikian, integritas dan keadilan dapat terus dijaga, memberikan dasar yang kuat untuk sistem perpajakan yang efektif dan adil.

Kepercayaan masyarakat terhadap DJP adalah elemen krusial dalam kesuksesan setiap sistem perpajakan. Saat masyarakat percaya bahwa penegakan hukum perpajakan dilakukan secara adil dan transparan, tingkat kepatuhan wajib pajak akan meningkat. Larangan menerima gratifikasi pada momen Lebaran adalah salah satu cara untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan ini. Masyarakat perlu yakin bahwa keputusan yang diambil oleh DJP didasarkan pada aturan dan hukum yang berlaku, bukan karena hadiah atau pengaruh eksternal. Melalui larangan menerima gratifikasi, lembaga perpajakan memberikan pesan kuat bahwa mereka mengutamakan integritas, keadilan, dan kepercayaan masyarakat di atas segalanya.

Larangan menerima gratifikasi pada momen Lebaran juga bukan hanya tentang menghentikan praktik-praktik yang tidak etis, tetapi juga tentang membentuk pola pikir budaya antikorupsi. Budaya ini melibatkan norma-norma dan nilai-nilai yang memandang korupsi sebagai sesuatu yang tidak dapat ditoleransi dalam segala bentuknya. Dalam konteks perpajakan, korupsi dapat merusak integritas sistem perpajakan dan menciptakan ketidaksetaraan dalam penanganan kasus perpajakan. Oleh karena itu, melalui aturan larangan menerima gratifikasi, DJP berusaha membentuk pola pikir yang menilai integritas sebagai hal yang tak terpisahkan dari tugas dan tanggung jawab mereka.

Dengan tidak menerima gratifikasi, para pegawai DJP dapat menciptakan dampak positif terhadap citra dan kredibilitas DJP. Kepercayaan masyarakat adalah aset berharga yang harus dijaga, dan DJP memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan dan tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dengan memperkuat citra dan kredibilitas DJP, masyarakat akan lebih cenderung bekerja sama dan patuh terhadap peraturan perpajakan. Ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memastikan kelancaran proses administrasi perpajakan.

Melihat ke Depan

Seiring pergantian tahun, DJP harus terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitar mereka. Tetapi, dalam upaya menuju perubahan yang positif, prinsip-prinsip dasar seperti profesionalisme, integritas, dan keadilan harus tetap dipegang teguh. Aturan larangan menerima gratifikasi pada momen Lebaran adalah salah satu langkah konkret menuju tujuan ini.

Pada akhirnya, setiap pegawai pajak adalah duta yang mewakili keadilan dan keberlanjutan sistem perpajakan. Dengan menjaga integritas dan menegakkan larangan penerimaan gratifikasi, mereka tidak hanya melindungi diri mereka sendiri dari potensi konflik kepentingan, tetapi juga membentuk masa depan yang lebih cerah untuk administrasi perpajakan.

Sebagai masyarakat yang mendukung pembangunan dan pertumbuhan, kita dapat melihat larangan ini sebagai langkah proaktif yang mendukung visi jangka panjang untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan dihormati oleh semua pihak. Dengan begitu, setiap momen Lebaran akan menjadi bukti nyata bahwa integritas, keadilan, dan profesionalisme adalah fondasi yang kokoh untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.