Oleh: Muhammad Fikri Ali, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Palu telah diketuk, APBN 2022 telah disahkan. Tanggal 30 September 2021 menjadi tanggal penting dalam lini masa kehidupan APBN 2022. Pada tanggal itu sauh telah diangkat dan layar kapal APBN 2022 telah dikibarkan. Berbagai rentetan agenda strategis pemerintahan bersiap untuk dieksekusi.

Di antara sekian agenda strategis pemerintah yang ada, publik mengenal proyek Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai salah satu proyek prioritas strategis di 2022 yang paling besar nilainya. Padahal, faktanya dalam Lampiran III Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022, proyek tersebut “hanya” dialokasikan sekitar 510 miliar rupiah.

Dalam lampiran yang sama, proyek prioritas strategis di 2022 yang memiliki alokasi paling besar adalah Reformasi Sistem Perlindungan Sosial, yakni sekitar 157 triliun rupiah. Angka yang cukup fantastis dan tentu kiranya masyarakat mengharapkan realisasi Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022. Penulis sendiri menduga program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akan masih tetap berlanjut, setidaknya hingga tahun 2022. Dugaan ini berdasarkan, PEN merupakan program derivatif dari Sistem Perlindungan Nasional mendatang.

Menimbang itu semua, APBN 2022 yang berperan sebagai instrumen kebijakan countercyclical memiliki tugas yang amat-sangat-besar. APBN 2022 diharapkan dapat mengakselerasi perekonomian masyarakat pascapandemi Covid-19 yang pada tahun-tahun sebelumnya dihadapi tanpa persiapan. Salah satu proyeksi APBN 2022, yaitu elemen Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.506,9 triliun, dengan target penerimaan pajaknya sebesar Rp1.265 triliun.

Strategi DJP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku institusi pemerintah yang memiliki peran penting untuk mengumpulkan penerimaan negara di bidang pajak, tidak akan kosong tanpa strategi. Untuk mendukung APBN 2022 dengan tema kebijakan fiskal Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural, DJP menyiapkan beberapa strategi, antara lain:

  1. Perluasan basis pemajakan dengan peningkatan kepatuhan melalui kegiatan edukasi dan peningkatan pelayanan perpajakan
  2. Inovasi penggalian potensi dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha
  3. Perluasan kanal pembayaran pajak
  4. Penegakan hukum berkeadilan dan mendorong kepatuhan WP
  5. Melanjutkan Reformasi Perpajakan (SDM, proses bisnis, IT dan regulasi)
  6. Pemberian insentif fiskal secara terukur untuk kegiatan ekonomi strategis yang mempunyai daya dorong yang kuat

UU HPP lahir dari salah satu strategi di atas. Sebagaimana telah diketahui bersama, pada 7 Oktober 2021 pemerintah dan DPR telah mengesahkan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atau yang lebih familiar disebut dengan UU HPP. Beleid tersebut terdiri atas sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, dan Cukai.

Selayaknya makhluk hidup pada umumnya yang akan kaget dengan perubahan tiba-tiba, maka pemerintah berusaha untuk –mengutip salah satu falsafah jawa– alon-alon asal kelakon (biar lambat asalkan berjalan). Implementasinya, yaitu perbedaan waktu pemberlakuan kebijakan-kebijakan yang ada di dalam UU HPP.

Paling dekat adalah Perubahan UU KUP dan UU Cukai, yang berlaku saat tanggal diundangkan, yaitu 29 Oktober 2021. Dilanjutkan dengan UU PPh yang berlaku mulai Tahun Pajak 2022, bersamaan dengan Kebijakan PPS. Namun, Kebijakan PPS hanya akan berlangsung sampai dengan 30 Juni 2022. Terakhir, Perubahan UU PPN dan Kebijakan Pajak Karbon akan mulai berlaku 1 April 2022.

Mengingat perbedaan waktu pemberlakuan yang ada, maka hal ini akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi DJP untuk menyosialisasikannya kepada khalayak luas. Tujuannya, agar masyarakat tidak sampai terlewat untuk mengetahui hak dan kewajiban perpajakan. Apalagi, Indonesia menganut asas fiksi hukum. Menurut Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. asas fiksi hukum adalah anggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).

Akan menjadi sangat disayangkan apabila masyarakat tidak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada. Pun, jika masyarakat juga tidak mengetahui kewajiban yang harus dijalankan, pemerintah akan merugi karena akan memunculkan biaya untuk penegakan hukum sebagai tindakan kuratif yang harus dilakukan.

Sistem Perpajakan Ideal

Dalam Konferensi Pers Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan terdapat enam prinsip sistem perpajakan yang baik berdasarkan praktik-praktik perpajakan yang baik, antara lain:

  1. Efisiensi: Biaya untuk patuh pajak (compliance cost) dan memungut pajak seminimal mungkin
  2. Stabilitas: Penerimaan perpajakan harus memadai, terjaga, dan terus berkelanjutan
  3. Kepastian dan Kesederhanaan: Administrasi perpajakan yang mudah, simple, dan menjamin kepastian hukum
  4. Efektif dan Adil: Sistem perpajakan harus efektif sebagai instrumen kebijakan dan mampu menciptakan keadilan
  5. Fleksibilitas: Mampu beradaptasi dengan perubahan struktur, teknologi, dan aktivitas dunia usaha
  6. Netral: Pajak tidak menciptakan distorsi yang berlebihan dalam perekonomian

Oleh karena itu, pemerintah berharap  dengan adanya beleid UU HPP yang telah disahkan di tahun 2021 dapat mengakomodasi strategi-strategi DJP dalam rangka memenuhi lumbung uang bernama APBN. Tidak hanya tahun anggaran 2022, melainkan juga tahun-tahun setelahnya dengan senantiasa mengikuti dinamika zaman yang senantiasa berubah saban hari seperti sekarang ini. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.