Oleh: Mura Novia Nur Annisaq, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Satu bulan terakhir, beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di DKI Jakarta diserbu oleh wajib pajak karyawan berstatus Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP). Mereka ramai-ramai mendatangi KPP terdekat guna melapor SPT Tahunan dua tahun terakhir demi memperoleh status valid pada KSWP (Konfirmasi Status Wajib Pajak) untuk kepentingan perpanjangan kontrak kerja pada akhir bulan November ini. Beberapa petugas helpdesk menyikapinya dengan mengadakan Kelas Pajak dadakan untuk “ngisi bareng” Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, dengan melayani enam hingga 10 wajib pajak dalam satu sesi. Petugas dalam melayani tidak memandang mereka terdaftar di KPP mana, wajib pajak dari KPP mana pun yang datang untuk meminta bimbingan tata cara pengisian SPT Tahunan, pasti dilayani dengan baik. Dalam sehari saja, Kelas Pajak spontan tersebut bisa empat sampai lima sesi. Tantangan yang dihadapi dalam Kelas Pajak tersebut adalah petugas harus ekstra sabar serta meluangkan banyak waktu dalam membimbing karena pengetahuan perpajakan mereka bisa dikatakan level dasar --jika tak bisa dibilang nol. Di sinilah peran edukasi sangat diperlukan untuk kalangan tersebut. Petugas membimbing mulai dari tata cara pembuatan akun di DJP Online, tata cara pembuatan kembali kata sandi jika lupa kata sandi, sampai tata cara pengisian SPT Tahunan hingga berhasil mendapatkan tanda terima elektronik.

Hampir seluruh dari mereka yang datang status NPWP-nya Non-Efektif (NE), karena tidak pernah lapor SPT Tahunan bahkan sejak terdaftar. Hal ini terjadi mungkin karena ketidaktahuan atau malah kurangnya kesadaran akan kewajiban lapor SPT Tahunan setelah memiliki NPWP. Seolah-olah baru menyadari kewajibannya ketika NPWP dengan status aktif dan valid dibutuhkan sebagai persyaratan untuk memperpanjang kontrak kerja sebagai karyawan PJLP. Hal ini lantaran selama ini mereka beranggapan bahwa kewajiban lapor SPT Tahunan menjadi kewajiban pemberi kerja untuk melaporkannya ke kantor pajak.

Untuk wajib pajak berstatus NE dengan melaporkan SPT Tahunan satu tahun pajak saja, status NPWP-nya akan otomatis berubah menjadi aktif. Namun, status KSWP belum valid karena harus melakukan pelaporan SPT Tahunan dua tahun terakhir. Pada DJP Online, wajib pajak berstatus NE hanya dapat melakukan satu kali pelaporan SPT Tahunan dalam satu hari. Misal pada hari ini mereka hanya bisa lapor SPT Tahunan tahun pajak 2021 saja. Padahal, untuk mendapatkan status KSWP valid, mereka harus melaporkan SPT Tahunan tahun pajak 2021 dan 2022. Secara sistem di DJP Online mereka baru bisa lapor SPT Tahunan untuk tahun pajak 2022 pada hari berikutnya. Sehingga dalam Kelas Pajak dadakan tersebut, petugas harus memastikan mereka benar-benar memahami tata cara pengisian SPT Tahunan, agar pada hari berikutnya mereka dapat melaporkan SPT Tahunan di DJP Online secara mandiri, tidak perlu datang ke KPP. Petugas juga menekankan agar mereka melakukan kewajiban lapor SPT Tahunan setiap tahun paling lambat tanggal 31 Maret. Apalagi di tahun 2024 nanti, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta naik menjadi Rp.5.067.381, akan sangat memungkinkan banyak karyawan berpengjasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah, pada Pasal 1 angka 3 dan 4 menyebutkan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan. Sedangkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Kemudian, menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan SPT sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan, pada Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan Pasal 9A ayat (1) menyebutkan bahwa wajib pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan SPT tersebut paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.

Dari dua peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap wajib pajak yang sudah ber-NPWP memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan, paling lama tiga bulan terakhir setelah akhir bagian tahun pajak (31 Maret, bagi yang menganut tahun pajak Januari-Desember) untuk orang pribadi. Jadi, kewajiban lapor SPT Tahunan melekat pada wajib pajak itu sendiri secara rutin, bukan pemberi kerja dan dilakukan setiap tahun. Dan yang perlu dicamkan, bukan hanya pada saat akan memperpanjang kontak kerja.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.