Angpau THR untuk Keponakan Dikenai Pajak?

Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perayaan hari raya besar keagamaan atau kebudayaan merupakan momen yang penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Momen tersebut biasanya dimanfaatkan untuk berkumpul bersama sanak saudara. Bahkan, banyak yang rela menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer untuk mudik ke kampung halaman agar bisa bersua dengan keluarga tercinta. Namun sayangnya, pada tahun ini tradisi semacam itu harus ditunda. Pasalnya, pandemi tengah melanda. Harapannnya, jangan sampai momen yang istimewa malah membawa duka hanya karena keegoisan kita. Rasanya tak mengapa kalau sementara tatap muka digantikan layar kaca.
Selain dijadikan ajang bersilaturahmi, acara kumpul keluarga pada hari raya besar keagamaan atau kebudayaan juga sering dijadikan sebagai ajang berbagi rezeki. Umat Islam biasa melakukannya pada momen perayaan Idulfitri. Tak jauh berbeda, hal yang dianggap sudah menjadi tradisi itu juga dilakukan pada perayaan Natal oleh umat Kristiani. Pun, masyarakat Tionghoa melakukannya pada momen perayaan Imlek. Biasanya, pada momen-momen tersebut, om dan tante membagikan sejumlah uang kepada keponakan-keponakan mereka. Uang yang dibagikan sering disebut sebagai angpau tunjangan hari raya (THR) karena umumnya dibagikan menggunakan amplop kecil nan lucu dan dibagikan pada saat hari raya. Lantas, apakah angpau THR dikenai pajak penghasilan (PPh)?
Objek PPh?
Hal pertama yang harus dilakukan untuk menentukan apakah sesuatu dikenai PPh adalah mengidentifikasi apakah sesuatu tersebut merupakan objek PPh atau bukan. Jika ya, itu dikenai PPh. Namun, jika tidak, tidak ada dasar untuk mengenainya PPh. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mengatur hal ini secara gamblang. Pasal 4 ayat (1) beleid tersebut menyebutkan bahwa yang menjadi objek PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Lalu, apakah angpau THR merupakan penghasilan sehingga harus dikenai PPh? Mari kita kupas lebih mendalam.
UU PPh juga memuat daftar yang dikecualikan dari objek PPh. Artinya, yang disebutkan dalam daftar tersebut bukanlah objek PPh sehingga tidak dikenai PPh. Daftar yang dikecualikan sebagai objek PPh itu terdapat pada Pasal 4 ayat (3), di antaranya ada sumbangan dan hibah. Angpau THR sendiri dapat dikategorikan sebagai sumbangan atau hibah. Lantas, apakah itu berarti angpau THR bukanlah objek PPh sehingga tidak dikenai PPh? Tunggu dulu.
Sumbangan yang dikecualikan dari objek PPh adalah zakat yang diterima oleh badan atau lembaga amil zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang diterima oleh lembaga keagamaan. Jelaslah, angpau THR bukanlah sumbangan yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam UU PPh. Kemudian, hibah yang dikecualikan dari objek PPh adalah hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunanan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, dan badan sosial. Memang, angpau THR diterima keponakan yang merupakan keluarga sedarah, Namun, keponakan bukanlah keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Jadi, angpau THR bukanlah hibah yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam UU PPh.
Angpau THR sendiri memenuhi definisi penghasilan sebagaimana diatur dalam UU PPh. Sebab, angpau THR merupakan tambahan kemampuan ekonomis dan dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan. Karena memenuhi definisi penghasilan, yang merupakan objek PPh, angpau THR dapat disimpulkan sebagai objek PPh. Dengan begitu, dapat disimpulkan pula bahwa angpau THR dikenai PPh. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa angpau THR bukanlah sumbangan atau hibah yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana telah diuraikan di atas.
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Penerima angpau THR biasanya masih anak-anak dan berusia di bawah 18 tahun. Lalu, bagaimana mereka dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sedangakan mereka masih di bawah umur? Pasal 8 ayat (4) UU PPh menyebutkan bahwa penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya. Dalam penjelasan ayat tersebut, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah. Kemudian, penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama. Jelaslah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan anak yang menerima angpau THR dilakukan oleh orang tuanya. Agar lebih mudah dipahami, mari simak contoh kasus berikut:
Khaila dan Raffa adalah anak dari pasangan Usman dan Ticha. Pada perayaan Idulfitri tahun 2019, Khaila mendapatkan angpau THR sebesar Rp300 ribu dan Raffa mendapatkan Rp200 ribu. Usman (pegawai swasta, K/2) memperoleh penghasilan neto sebesar Rp400 juta selama tahun 2019 dan telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp53.125.000,00.
Berikut adalah perhitungan PPh akhir tahun yang harus dilakukan oleh Usman:
Penghasilan neto sehubungan dengan pekerjaan Rp400.000.000,00
Angpau THR Khaila Rp300.000,00
Angpau THR Raffa Rp200.000,00
Jumlah Penghasilan Neto Rp400.500.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp333.000.000,00
PPh Terutang: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp 83.000.000,00 = Rp20.750.000,00 Rp53.250.000,00
Kredit Pajak: PPh Pasal 21 (Rp53.125.000,00)
PPh Kurang (Lebih) Bayar Rp125.000,00
PPh kurang bayar sebesar Rp125.000,00 di atas adalah PPh atas angpau THR yang diterima Khaila dan Raffa. PPh atas angpau THR tersebut wajib disetor ke kas negara oleh Usman paling lambat sebelum menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (paling lambat 31 Maret 2020). Namun, karena ada kebijakan relaksasi penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, penyetoran tersebut dapat dilakukan paling lambat 30 April 2020.
Boleh jadi, ada pihak-pihak yang kontra terhadap pengenaan PPh atas angpau THR. Ada yang mungkin beralasan itu tidak sesuai dengan asas efisiensi dalam pemungutan pajak. Sebab, hasil pemungutan PPh atas angpau THR bisa jadi lebih kecil daripada biaya pemungutannya. Yang lain lagi mungkin berpendapat bahwa pemungutan pajak harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya di masyarakat. Bisa jadi mereka merasa bahwa kurang bijak kalau pemungutan pajak dilakukan di area yang bersinggungan dengan hal-hal keagamaan karena bisa menimbulkan gejolak di masyarakat.
Faktor-faktor di atas memang perlu dipertimbangkan. Namun, faktor-faktor yang lain juga tidak boleh dinafikan. Pengenaan PPh atas angpau THR bukanlah karena alasan budgetair semata. Sasaran akhirnya jauh lebih esensial, menciptakan generasi yang memiliki kepatuhan sukarela yang tinggi dalam melaksakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kemudian, rasanya pengenaan PPh atas angpau THR tidak bakal menimbulkan gejolak di masyarakat karena tidak ada hal-hal keagamaan yang dicederai. Justru ini malah bisa jadi manifestasi dari semangat berbagi. Kalau anak-anak sudah diajarkan berbagi lewat pajak sejak dini, dapat dibayangkan generasi seperti apa yang akan terbentuk nanti. Pasti, generasi sadar pajak yang memiliki kepatuhan sukarela yang tinggi.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 1781 kali dilihat