Oleh: (Komang Jnana Shindu Putra), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Dalam ranah media sosial belakangan ini, perhatian banyak orang Indonesia tertuju pada sebuah fenomena menarik yang dikenal dengan sebutan "joki Strava". Fenomena ini tidak hanya mencerminkan tingginya kreativitas masyarakat, tetapi juga mengundang diskusi seputar berbagai aspek, termasuk implikasi perpajakan yang mungkin timbul.

Joki Strava adalah sebuah layanan yang menawarkan penggantian dalam menjalankan aktivitas olahraga, khususnya di tengah tren yang sedang populer belakangan ini seperti lari. Aplikasi Starva sendiri, yang telah merilis versi pertamanya pada tahun 2009 dan pada tahun 2023 tercatat memiliki lebih dari 120 juta pengguna, memungkinkan pengguna untuk merekam setiap detil aktivitas mereka dengan memanfaatkan teknologi Sistem Pemosisian Global atau Global Positioning System (GPS) pada smartphone. Dengan fitur seperti pelacakan jarak, durasi, kecepatan, elevasi, dan analisis performa yang komprehensif, Strava tidak hanya menjadi alat untuk merekam pencapaian pribadi dalam olahraga, tetapi juga sarana untuk berbagi pencapaian dan menjalin komunitas di platform media sosial.

Kehadiran joki Strava muncul di tengah popularitas lari yang semakin meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak dari mereka yang tidak hanya berpartisipasi dalam acara fun run atau maraton, tetapi juga secara aktif memamerkan pencapaian mereka di media sosial seperti pace (kelajuan), yaitu istilah untuk waktu yang diperlukan dalam menempuh satu kilometer. Sebagai contoh, pace enam berarti pelari tersebut dapat menempuh jarak satu kilometer dalam waktu enam menit. Dalam konteks ini, beberapa individu di media sosial telah menawarkan jasa sebagai joki Strava, dengan menawarkan layanan yang meliputi pengukuran jarak tempuh, kecepatan, serta permintaan khusus seperti kelajuan tertentu hingga kenaikan elevasi.

Biaya layanan joki Strava juga sangat bervariasi, tergantung pada spesifikasi permintaan klien. Sebagai contoh, tarif bisa lebih tinggi untuk kelajuan yang lebih cepat atau rute dengan elevasi yang lebih tinggi. Dilansir dari situs web detikHealth, salah seorang mahasiswa yang menawarkan “open joki Strava” ini menyebutkan bahwa tarif dengan kelajuan di bawah angka 5 terkena biaya 6-7 ribu/kilometer dan kelajuan di atas angka 5 terkena biaya 5 ribu/kilometer. Ada juga joki dengan permintaan dengan peningkatan elevasi (elevation gain) di atas 1.000 meter ditawarkan dengan harga 10 ribu/kilometer dengan trek lari menaiki bukit atau gunung.

Aspek Perpajakan

Fenomena ini tidak hanya mencuri perhatian di platform media sosial, tetapi juga mengundang pertanyaan tentang bagaimana aspek perpajakannya. Seiring dengan berkembangnya fenomena ini, akan menarik untuk melihat bagaimana regulasi dan kebijakan perpajakan akan beradaptasi untuk mengakomodasi perkembangan ini dalam ekosistem digital dan ekonomi berbagi yang terus berkembang di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), joki Strava dapat diklasifikasikan sebagai pekerjaan lepas (freelance). Mereka adalah individu mandiri yang independen dan tidak terikat oleh perjanjian dengan pemberi kerja, termasuk perusahaan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disebut sebagai karyawan perusahaan dan memiliki kebebasan dalam memilih klien serta jenis pekerjaan yang ingin mereka lakukan.

Dalam konteks perpajakan di Indonesia, seorang pekerja lepas (freelancer) seperti penjoki Strava tetap dianggap sebagai pekerja, meskipun mereka tidak terhubung dengan perusahaan atau lembaga tertentu. Mereka menghasilkan pendapatan dari pekerjaan yang mereka lakukan dan wajib melaporkannya setiap tahun.

Di Indonesia, sistem perpajakan menggunakan self-assesment yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang atas penghasilan yang diperoleh selama satu tahun pajak. Wajib pajak juga dapat memilih menggunakan metode pembukuan atau pencatatan untuk menghitung penghasilannya, dengan syarat pencatatan dapat digunakan jika penghasilan bruto wajib pajak kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan norma penghitungan penghasilan neto bagi wajib pajak yang menggunakan metode pencatatan ini.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah pedoman untuk menentukan jumlah penghasilan neto yang digunakan dalam perhitungan pajak penghasilan terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Wajib pajak yang ingin menggunakan NPPN harus mengajukan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tiga bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pemberitahuan ini dapat diajukan secara daring melalui akun djponline milik wajib pajak di menu info KSWP.

Ilustrasi dan Penghitungan

Sebagai ilustrasi, Hadi, seorang mahasiswa dengan NPWP, status belum menikah dan tanpa tanggungan, menawarkan jasa sebagai penjoki di aplikasi Strava dengan tarif Rp10.000 per kilometer untuk pace dibawah 5. Pada tahun 2024, Hadi berhasil menghasilkan pendapatan sebesar Rp18.000.000,00.

Dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya, Hadi menggunakan NPPN dengan terlebih dahulu mengajukan pemberitahuan menggunakan NPPN maksimal pada tiga bulan pertama tahun pajak bersangkutan. Besarnya norma untuk pekerja bebas adalah 50%, sehingga penghasilan neto Hadi adalah Rp18.000.000,00 x 50% = Rp9.000.000,00.

Penghasilan neto sebesar Rp9.000.000,00 ini tidak langsung dikenakan pajak, karena kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk status tidak kawin dan tidak ada tanggungan (TK/0) sebesar Rp54.000.000,00. Dari pengurangan ini, terlihat bahwa penghasilan kena pajak Hadi adalah Rp0,00 dan tidak dikenakan pajak penghasilan.

Namun, jika Hadi memberikan jasanya kepada pihak pemotong (perusahaan atau instansi), penghasilannya sebagai bukan pegawai wajib dipotong oleh pemberi penghasilan. Dasar pengenaan pajaknya adalah 50% dari peredaran bruto, yaitu 50% x Rp18.000.000,00 = Rp9.000.000,00 dan berdasarkan tarif PPh yang berlaku, pajak sebesar 5% x Rp9.000.000,00 = Rp45.000,00 akan dipotong dari penghasilan tersebut.

Ketika dilaporkan dalam SPT Tahunan, potongan pajak ini dapat dikembalikan karena status pelaporannya yang lebih bayar (PPh terutang Rp0, tetapi potongan pajak Rp45.000,00).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua penghasilan yang dilaporkan akan terkena pajak, tergantung pada jenis pelaporan dan penghitungannya. Semoga penjelasan ini bermanfaat! 😊

Eits, terlepas dari seluruh pembahasan di atas, hal yang lebih utama untuk dicamkan adalah nilai-nilai sportivitas. Karena sejatinya, olahraga terbaik adalah yang dilakukan oleh kita sendiri dan tentunya dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran.

 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.