Melihat Pajak atas Bisnis Waralaba
Oleh: Nadia Nur Febriana, Direktorat Jenderal Pajak
Dewasa ini kita tahu banyak hal mulai dari makanan dan minuman kekinian yang sedang digemari oleh generasi milenial. Bila makanan atau minuman tersebut sedang viral atau booming pasti akan menarik minat pembelinya.
Kita pasti sudah melihat fenomena tersebut, makanan atau minuman itu dijual di kios-kios yang mudah dijangkau. Selain makanan dan minuman kekinian, ada juga minimarket yang menjamur di berbagai tempat. Banyak yang kemudian tertarik untuk ikut mencoba peruntungannya yaitu dengan cara mencoba bisnis franchise atau waralaba.
Bisnis waralaba ini dinilai praktis karena dengan mengeluarkan biaya untuk membeli merknya pelaku bisnis sudah mendapat berbagai keuntungan mulai dari jenama, SOP, bahan baku, dan peralatan.
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Waralaba juga merupakan suatu hubungan kerja yang memiliki perjanjian antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba). Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba. Sedangkan penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.
Lalu bagaimana aspek perpajakan bagi pelaku bisnis waralaba ini? Mari kita lihat bersama kewajiban pajaknya.
Royalti
Ketika penerima waralaba membeli suatu merk atau hak atas usaha yang akan dijadikan sebagai bisnisnya maka akan ada royalti yang dibayarkan kepada pemberi waralaba. Penghasilan itu akan dipotong pajak dengan tarif sebesar 15% dari penghasilan bruto sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 dalam Pasal 23 ayat (1).
Apabila pemberi waralaba merupakan wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1).
Mengenai pendapatan atau peredaran usaha yang diperoleh oleh orang pribadi, apabila penerima waralaba tersebut masuk ke dalam kategori wajib pajak dengan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp4,8 miliar maka dapat menggunakan fasilitas tarif Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5% sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 atau biasa disingkat dengan PP 23.
Peredaran bruto (omzet) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. Apabila memiliki lebih dari satu tempat usaha, omzet yang dimaksud adalah jumlah omzet seluruh gerai atau sejenisnya baik pusat maupun cabang.
Atas penghasilan tersebut, penerima waralaba menghitung sendiri pajaknya sesuai dengan penghasilan brutonya.Kemudian penerima waralaba menyetor sendiri pajaknya ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.Bukti pembayaran pajak dan catatan omzet atas usaha akan dilampirkan dalam laporan SPT Tahunan penerima waralaba.
Namun, sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau biasa disingkat UU HPP mulai tahun 2022 bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak. Hal ini sejalan dengan asas dari UU HPP yaitu keadilan, kesederhaan, dan kemanfaatan.
Kita lihat contoh kasusnya, misal ada wajib pajak Tuan A mempunyai usaha minuman kekinian yang sekarang sedang menjamur di mana-mana. Kita asumsikan penghasilan Tuan A hanya berasal dari bisnis minuman kekinian saja.
Pada tahun 2022 berdasarkan pencatatan yang dilakukan, peredaran usaha kumulatif yang diperoleh sampai dengan bulan April adalah Rp660 juta. Peredaran usaha kena pajak yang bisa dihitung adalah sebesar Rp160 juta. Pajak Penghasilan final yang dibayarkan sesuai tarif PP 23 adalah Rp800 ribu. Dengan adanya aturan dalam UU HPP ini beban pajak menjadi lebih ringan karena Pajak Penghasilan yang harus disetor menjadi lebih kecil.
Itu tadi adalah kewajiban bagi wajib pajak yang memiliki bisnis waralaba. Bagi kawan pajak yang sudah memiliki penghasilan, jangan lupa untuk memenuhi kewajiban pajaknya dengan menghitung pajak dan menyetorkan pajaknya dengan sepenuh hati kepada negara karena satu rupiah pajak dari kita sangat berarti untuk negara dan juga jangan lupa untuk menyampaikan laporan SPT Tahunan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 591 views