Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pendanaan dalam suatu perusahaan dimungkinkan dilakukan melalui dua cara yaitu melalui utang (debt) ataupun modal (equity). Sedangkan untuk menentukan metode paling sesuai dari kedua metode tersebut tentu dibutuhkan pemahaman yang memadai terhadap implikasi perpajakannya. Cara perusahaan melakukan pendanaan akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada jumlah keuntungan yang dilaporkan untuk tujuan perpajakan. Thin Capitalization sendiri sering dimaksudkan pada situasi di mana perusahaan melakukan pendanaan melalui tingkat utang yang tinggi dibandingkan modal yang dimiliki atau sering disebut “highly leveraged”. Peraturan perpajakan di beberapa negara termasuk Indonesia secara khusus mengizinkan pengurangan biaya pinjaman atas utang dalam menghitung jumlah penghasilan kena pajak. Oleh karena itu, dalam taraf yang cukup besar pendanaan melaui utang (debt financing) terlihat lebih atraktif bagi pemegang saham dibandingkan pendanaan melalui modal (equity financing).

Penggunaan leverage sendiri menurut OECD telah diidentifikasikan sebagai salah satu metode yang memfasilitasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) akibat adanya biaya bunga dalam pinjaman yang dapat diakui sebagai deductible expense. Dalam sudut pandang negara berkembang termasuk Indonesia di mana pendanaan investasi kebanyakan melalui utang, hal ini sangatlah berisiko dan dapat menimbulkan masalah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Walaupun kebutuhan dalam menarik investasi ke dalam negeri sangatlah penting tetapi haruslah menyeimbangkan dengan pentingnya melindungi basis pajak. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini akan memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan multinasional dalam melakukan bisnis di dalam negeri melalui penggerusan basis pajak.

Aturan Thin Capitalization secara umum memiliki dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu melalui pembatasan jumlah utang (debt limitation) yang berpengaruh terhadap jumlah beban bunga yang dapat dikurangkan serta melalui pembatasan jumlah bunga (interest limitation) yang dapat dikurangkan dengan referensi rasio dari bunga terhadap variable lain. Jenis pendekatan yang pertama dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu melalui pendekatan Arm’s Length dan pendekatan rasio/Debt to Equity Ratio (DER). Indonesia sendiri saat ini memiliki aturan Thin Capitalization yang berpedoman pada pendekatan pertama yaitu melalui Arm’s length test untuk menentukan jumlah utang bagi entitas yang memiliki hubungan istimewa dan DER untuk menentukan jumlah utang maksimal yang dapat diperhitungkan sebagai biaya. Di samping aturan tersebut Indonesia juga menerapkan withholding tax terhadap pembayaran bunga ke Subjek Pajak Luar Negeri (non-resident) di mana hal ini untuk mengalokasikan hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber.

Debt to Equity Ratio (DER) sendiri merupakan aturan yang paling umum digunakan oleh mayoritas negara di dunia dalam menghadapi upaya Thin Capitalization. Kesederhanaan dalam penggunaan DER mungkin menjadi salah satu alasan banyak negara menggunakan aturan ini sebagai Thin Capitalization Rule. Indonesia di tahun 1984 saat pertama kalinya memperkenalkan DER menetapkan besarnya perbandingan utang dan modal maksimal sebesar 3 : 1 namun beleid ini ditangguhkan hanya beberapa bulan setelah ditetapkan. Tahun 2015 Indonesia akhirnya merilis aturan DER melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan, setelah bertahun-tahun terdapat lubang besar dalam Specific Anti Avoidance Rules (SAARs) khususnya Thin Capitalization. Besarnya perbandingan utang dan modal menurut ketentuan terbaru maksimal sebesar 4 : 1. Meskipun tidak ada standar internasional untuk menentukan formula dari besarnya rasio yang digunakan, Indonesia sendiri terlihat lebih memberikan ruang bagi wajib pajak dalam berekspansi karena kebanyakan negara-negara menggunakan rasio DER sebesar 3 : 1.

OECD dalam laporan akhir BEPS Action 4 tidak merekomendasikan penggunaan DER sebagai Thin Capitalization Rule, mereka lebih merekomendasikan penggunaan pendekatan yang kedua yaitu melalui interest limitation atau lebih sering disebut pendekatan “earning stripping”. Pendekatan ini menggunakan rasio untuk menentukan seberapa besarnya biaya bunga yang dapat di kurangkan dari jumlah pendapatan, rasio tersebut berasal dari perbandingan bunga dengan EBIT/EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization). Menurut OECD penggunaan DER masih memberikan banyak kerugian seperti adanya fleksibilitas yang cukup tinggi dalam hal tingkat bunga yang dibayarkan suatu entitas atas utangnya dan juga potensi entitas yang memiliki modal besar untuk mengurangkan lebih banyak biaya bunga di mana hal tersebut sangatlah mudah dilakukan bagi grup usaha untuk memanipulasi hasil rasio utang terhadap modal dengan menambah tingkat modal dalam entitas tertentu. PBB menjelaskan bahwa pendekatan Earning Stripping sendiri lebih direkomendasikan oleh OECD karena secara langsung membatasi penggerusan basis pajak di mana wajib pajak tidak dapat mengurangkan biaya bunga melebihi batas yang telah ditetapkan, berbeda dengan DER yang hanya membatasi penggerusan basis pajak secara tidak langsung.

Penggunaan aturan Debt to Equity Ratio tentu dibutuhkan penghitungan neraca keuangan wajib pajak di mana PBB dalam handbook-nya menyatakan bahwa penggunaan neraca keuangan tidak dapat memberikan penghitungan rasio yang sesuai. Dalam akuntansi keuangan, modal dalam suatu perusahaan seringkali diukur menggunakan nilai historis (contoh: investasi awal dan retained earning), hal ini akan menyebabkan sisi aset menjadi undervalue. Apabila perusahaan memiliki aset yang telah mengalami kenaikan nilai (appreciated in value) atau goodwill yang cukup substansial maka nilai rasio debt to equity dimungkinkan overstated apabila utang diukur menggunakan nilai sekarang tetapi modal diukur menggunakan nilai historis. Jika perusahaan melakukan valuasi modalnya menggunakan nilai pasar wajar (fair market value) hal tersebut akan sangat mahal dan rumit, valuasi sendiri berpotensi menimbulkan dispute antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Indonesia sebagai negara anggota G-20 yang ikut mendukung OECD BEPS Action Plan dimana salah satunya Rencana Aksi 4 berkaitan dengan Thin Capitalization tentu diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam terkait implementasi interest limitation/earning stripping rule dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penggunaan kombinasi beberapa pendekatan yang direkomendasikan OECD dengan tetap menjaga dampaknya terhadap iklim investasi di Indonesia. Jangan sampai keinginan pemerintah untuk menarik investasi malah mengorbankan basis pajak dalam negeri yang tergerus oleh aksi Aggressive Tax Planning seperti Thin Capitalization.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja. 

Gajewski, Dominik. 2013. Tax-related and Economic Consequences of Selecting the Method of Debt Financing of Companies with Regard to Thin Capitalisation in OECD Member Countries. Cotemporary Economics Vol 7

OECD.2017.Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments, Action 4-2016 Update

OECD.2012.Thin Capitalisation Legislation a Background Paper for Country Tax Administrations (Pilot Version for Comments)

Rulman, Andrie. 2017. Thin Capitalisation in Indonesia: Should Indonesia Follow OECD BEPS Project Recommendation on Thin Capitalisation? [Tesis]

Trepelkov A, Tonino H dan Halka D. 2017. United Nations Handbook On Selected Issues In Protecting The Tax Base Of Developing Countries Second Edition